Dear sahabat tercinta,
Saat ini kita masuk pada medio zaman yang mengagungkan materi. Zaman yang membangun kebijakan berstandarkan modal dan sekulerisme. Zaman yang tidak menghargai peranan relijiusitas dan moralitas, tetapi mengedepankan kepentingan materi dan pemuasan hawa nafsu belaka.
Akibatnya dalam tatanan sistem pergaulan sosial di tengah-tengah masyarakat berubah dan menjadi sesuatu yang mengenaskan. Fakta ini terjadi karena kehidupan sosial dibangun dengan pondasi sekuler yaitu memisahkan agama dengan kehidupan. Alhasil, kapitalisasi dan sekulerisasi pergaulan islam begitu tampak. Arena Karouke, Diskotek, hiburan dan games, mall, pusat perbelanjaan dan tempat-tempat yang dihidupkan untuk mendukung kebutuhan liar pergaulan semakin banyak saja. Pergaulan yang tadinya hanya diperuntukan sebagai aktivitas sosial untuk saling mengenal, berubah menjadi aktivitas yang menghasut orang untuk menghargai kehidupan sosial dengan pandangan seks.
Akibatnya sistem pergaulan kapitalisme memaksa dan memberikan trend ditengah-tengah ummat bahwa yang namanya pacaran itu adalah aktivitas sosial yang kudu dilakukan. Trend pacaran pun berkembang, dan pada akhirnya mengabaikan aspek kesucian dan kehormatan. Pacaran yang di era dahulu hanya dilakukan segelintir dan itu melalui proses yang hanya “sekedar” pegang tangan dan bercengkerama bersama kini lebih jauh dari itu.
Karena Cinta berstandar Materi
Materi adalah sesuatu hal yang penting. Sehingga menilai cinta dan kasih sayang saat ini identik dengan materi. Ternyata di dalam kapitalisme, kehidupan cinta berhasil di komersialisasikan. Cobalah lihat, berapa banyak dana yang harus keluar tatkala iklan-iklan di media massa menunjukan bahwa cantik itu harus seperti ini, itu dan begitu. Maka tak sedikit kocek yang harus keluar untuk membeli shampo, pemutih, sabun mandi, cat rambut, pewangi dan lain-lain. Tidak main-main untuk menggapai itu semua dan kepuasannya orang rela mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk itu.
Operasi-operasi bentuk tubuh seperti muka, kulit, hidung, payudara dan berbagai macam lainnya dilakukan hanya untuk sekedar memikat lawan jenis dan menarik perhatian mereka belaka. Bahkan untuk mengukuhkan cinta dan kasih saying itu dalam majelis walimatul ursy’ tak sedikit orang menghabiskan dana jutaan, puluhan juta, ratusan juta bahkan bermilyar-milyar. Sudah itu aktivitas ikhtilat telah merajalela dalam pernikahan. Standar mewah yang dikejar, bukan standar khidmat dan kekhusyuan dalam prosesinya.
Memubuhkan tentang kebenaran pernikahan itu pun, di dalam kitab hijau juga tak ayal mengeluarkan uang yang begitu banyak pula dalam proses administrative termasuk dalam permasalahan ijab dan qobulnya. Bahkan diantara orang tua mempelai hanya melihat “harta” yang dibawa bukan agama dan kesungguhan dakwah seseorang. Maklum, bagi mereka pekerjaan yang layak dengan gaji dan harta yang wah adalah mimpi yang dibutuhkan di dalam kehidupan keluarga. Padahal agama menganjurkan bahwa bila datang seorang yang baik agamanya tanpa memandang bekal harta yang dibawa calon mempelai hendaklah diterima karena bisa jadi menimbulkan fitnah.
Anehnya hal ini diberikan kepada mereka yang melakukan aktivitas kehidupannya dengan normal dan dengan dakwah. Berbeda dengan mereka yang hidup dalam kebiasaan sekulerisme. Pernikahan yang merupakan perpaduan agung antara kehormatan dan cinta hanya sekedar seremonial belaka. Maklum kesucian dan nilai kehormatan itu telah diperjual-belikan atau digadaikan jauh sebelum pernikahan diadakan. Lagi-lagi atas nama cinta. Tak ayal banyak yang kini melakukan pernikahan pun karena keterpaksaan, disebabkan si mempelai wanita telah mengalami hamil dahulu.
Akibat itu pula, urusan nyawa mudah dihilangkan. Lihat saja berapa banyak aborsi yang terjadi akibat kehidupan saat ini. Angka yang akan berwujud fantastis dan diluar dugaan bakal kita temui terkait aborsi ini. Benarlah ujar ucapan ti pat kai dalam film Sungokong.
“Cinta…cinta… deritanya tiada akhir.”
Padahal akhirnya orang takut jatuh cinta. Takut dengan urusan pernikahan, takut pula dalam urusan pemenuhan maisyah, dan berbagai rasa “al-khauf” yang diterima. Hal inilah yang membuat pacaran sering dideklarasikan untuk mendukung pernyataan seperti ini. Padahal islam telah melarang tegas hal tersebut.
Karena di Kapitalisme Cinta beralamat palsu, Sedangkan Cinta Menemukan Jati Diri di Islam
Itulah gambaran cinta di zaman serba kapitalisme. Inilah cinta yang terpaksa tinggal di alamat penuh kepalsuan yang berpindah-pindah menemukan kecocokan dengan zamannya. Seandainya, banyak orang tahu dan sadar bahwa islam telah mengatur sedemikian rupa dan mengangkat derajat kemanusiaan tentang kehidupan cinta.
Islam telah memberikan seperangkat aturan ijtimai (sistem sosial) antara laki-laki dan perempuan. Dimana ada batasan-batasan yang dapat mencegah dan menghalangi orang untuk bebas menjual bahasa cintanya. Inilah yang membuat kehidupan di zaman khilafah, kehidupan cinta itu penuh romantika dan etika. Maka, tak pelak syair-syair tentang cinta dan etika melamar serta pernikahan begitu syahdu dan khusyuk. Tak pelak, di saat islam telah menentukan aturan itu, kaum muda tak pernah merasa khawatir untuk bersungguh menjadi suami yang baik. Karena islam dengan jelas telah mengontrol aturan itu.
Maka, tak pelak angka perceraian di saat zaman keemasan itu hanya sedikit prosentasenya di badingkan angka saat ini. Kehidupan kapitalisasi dan sekulerisasi hanya membawa dampak yang merisaukan ummat. Sehingga orang-orang yang berjuang untuk tetap lurus dalam agamanya harus terpaksa melawan berbagai cobaan dan hinaan yang sangat memberikan kerisihan tatkala mereka tetap berusaha mensucikan diri-diri mereka.
Wallahu’alam bisshowwab.
Rizqi Awal
(Wisata Surga Center/Kornas BE BKLDK)
____________________________________________
baca juga artikel :
- Beberapa Syarat Hijab (jilbab)yang Harus dipenuhi
- Penelitian Ilmiah Kontemporer Tentang Tidak Berjilbab
- Jilbab VS Gaul
- Hari Gini Masih Pacaran Nggak Banget Deh
- Apakah Jilbabmu Sudah Sesuai Syariat
- Fenomena Akhwat Facebook-ers
- Berjilbab Dulu atau Memperbaiki Hati
- Fenomena Facebook (Rugi Jika Tak Baca)
- Siapakah Anda?
- Sistem atau Tingkat Kaderisasi
- Paradigma Cinta dan Kasih di dalam Kapitalisme
- Saat Iblis membentangkan sajadah
- Ukhti fillah, masihkah kau tidak ingin berjilbab?
No comments:
Post a Comment
BUDAYAKANLAH UNTUK MENULIS KOMENTAR